Gloomy Sunday
Disini, aku berdiri disini, sendiri…di tengah rel kereta tuk menjemput mautku. Mata ini terus menerawang jauh ke langit sana, bahkan langitpun enggan menunjukkan senyuman hangat mentarinya, sejuta warna pelanginya, ia tak lagi memberi warna cerah untukku, hanya warna kelabu yang ia perlihatkan tuk menemani suasana hati ini.
Hatiku pilu dan teramat menderita, secercah kisah telah membuat goresan pedih yang teramat dalam, bahkan mungkin tiada dasarnya. Secercah kisah 5 tahun silam, kisah kebodohanku yang membuat segalanya berubah..tak lagi indah..
“Ayah….jangan lakukan itu, Yah…Dinda berjanji takkan menyusahkan Ayah lagi..Dinda akan mencoba mengerti dengan keadaan Ayah sekarang..Tapi jangan lakukan itu, Dinda mohon..Dinda minta maaf Yah..” teriakku frustasi.
Aku menangis histeris melihat pemandangan mengerikan didepanku. Sesosok Ayah yang begitu aku sayangi kini mencoba pergi meninggalkanku selamanya.
Kulirik Bunda, ia sama histerisnya denganku, bahkan kini matanya terlihat lelah,tubuhnya mulai terlihat lemas. Kerutan di wajahnya kini semakin terlihat, apalagi kesedihan yang tersorot dari mata teduhnya. Juga air mata yang membasahi seluruh wajahnya. Ya Tuhan..kuatkah aku melihat semua ini..?
“Dinda..Ayah tidak mau hidup melarat seperti ini, Ayah tidak akan mampu memenuhi keinginan Bunda dan kamu..Ayah bangkrut Din..Kita miskin,sengsara..Lebih baik Ayah mati saja..” lirih Ayah frustasi.
Ia menangis tersedu-sedu. Sosok Ayah yang kuat dibalik jasnya kini menghilang entah kemana, yang kulihat sekarang hanyalah sesosok Ayah berpakaian compang-camping yang sangat rapuh dan lemah. Ia kini terduduk lemas di tengah rel kereta ini. Menyedihkan…
“Maafkan Dinda Yah..Dinda sadar selama ini terlalu hidup royal dan kelewat batas.. Egois, tidak pernah mau mengerti keadaan Ayah, kini Dinda tahu tak akan selamanya kita hidup mewah..Tidak selamanya titipan itu berada dalam genggaman. Karna itu titipan Yah..Dinda sadar..” tangisku semakin pecah, bersamaan dengan hati yang pecah berkeping-keping menyesali semua yang telah kuperbuat selama ini. Ya Tuhan maafkan aku…
BRUUUK…..!!!!!
Suara itu membuatku menoleh kearah sumbernya, betapa kagetnya diriku melihat Bunda yang sudah terbaring lemas ditanah merah dipinggir rel kereta ini, matanya terpejam, wajahnya penuh dengan peluh, tangannya memegangi dadanya, ia mengerang kesakitan.
Kaki ini segera berlari menghampirinya yang lunglai. Setelah kulihat Bunda begitu dekat, kaki ini bergetar tak mampu menopang berat badanku, aku terduduk lesu, merangkulnya dengan penuh kasih sayang, ku tidurkan Bunda dipangkuanku. Entah benang apa yang menjahit bibirku hingga tak mampu berkata, entah apa yang terjadi padaku hingga tak mampu bersuara, kini aku hanya mampu menangis deras menatap wajah pucat Bunda. Matanya kini mulai terbuka kembali walaupun hanya sedikit, namun cahaya matanya tetap seterang biasanya, mata teduh ini slalu menenangkanku.
“Din..da..Bunda..menya..yangimu..” ucap Bunda terbata-bata, sorot matanya sangat teduh, menenangkanku yang menatapnya. Namun bibir ini tetap tak kuasa berucap, hanya tangisan yang mewakili betapa kesedihan tengah melandaku saat ini.
JEDUER…!!
Petir membentak memekakkan telinga, rintik hujan tumpah deras dari cakrawala sana, mengguyur tanah merah yang ku pijak sebagai saksi, seakan ikut serta merasakan semua ini. Aku yakin alam pun mampu berbahasa.
TUT…TUT…
Kualihkan pandanganku ke rel kereta, tak jauh dari sini sebuah kereta tengah melaju kencang kearah Ayah. Oh..tidak apa yang harus ku lakukan..??
“Ayah….AWAS!!!” teriakku histeris.
Rasa takut menjalari tubuhku akan hal buruk yang kan terjadi, namun, tak bisa ku percaya..Ayah masih terduduk lesu dan menatap kosong ke depan tanpa berusaha menyelamatkan diri.
Tubuh ini hendak beranjak dan ingin berlari sekencang mungkin, namun tangan dingin yang begitu lemah memegangku erat, saatku menoleh, wajah Bunda terlihat semakin pucat, bibirnya seperti berusaha mengucapkan sesuatu. Mata indah Bunda seperti menghipnotisku tuk tetap berada disini.
“Din..da..Bunda..ha..rus..pergi..maafkan Bunda.. karna.te..lah ..menyembunyikan...tentang pe..nyakit Bunda...” ucapnya lemah, matanya menatapku nanar.
“Kita..pas..ti akan berte..mu kem..ba..li..kelak..nan..ti..di..tempat ya..ng lebih..in..dah..” ucapnya lagi, matanya memancarkan cahaya, tangan halusnya mengusap air mata dipipiku lembut, selembut nyanyian yang sering ia nyanyikan untukku. Aku tak ingin kehilangan semua ini, aku takkan mampu merindukannya.
“AKKHH…..!!!”teriakan itu menyadarkanku.Ayah…
Tapi,kini..Sudah terlambat..sosok pemimpin di keluarga kecilku kini telah menjemput ajalnya, dengan cara yang sangat mengerikan dan mengenaskan, menjadikan tubuhnya tak berbentuk lagi. Darah segar memuncrat menodai tempat yang kupandang saat ini. Dia telah pergi..membuat semua yang kulewati bersamanya menjadi kenangan.
Belum cukup penderitaanku, kini kutatap kembali wajah pucat pasi Bunda, matanya mulai terpejam perlahan, genggamannya di tanganku melonggar kemudian terlepas, nafasnya kini tak lagi berhembus, darahnya tak lagi mengalir. Dia menyusul imamnya.
Kini jiwanya melayang meninggalkan raganya. Ya Tuhan…mereka membuatku menjadi yatim piatu, sebatang kara di dunia yang kejam ini..melewati masa yang tak segemilang dulu.
“Tidak….!!!” teriakku memecah suara hujan yang begitu deras. Hati ini hancur, pedang diddalamnya merobek setiap inci hati yang begitu rapuh, kejadian yang kualami ini merusak logikaku, melumpuhkan tubuh dan harapanku, menghentikan cita serta mimpiku. Memusnahkan segalanya.
Hujan ini menyamarkan tangisanku, gemuruhnya pun menyembunyikan teriakanku, airnya memburamkan pemandangan mengerikan ini. Bunda..Ayah..aku kini sendiri diterpa sunyi, diselimuti pedih. Aku takut, cemas, tak mampu percaya akan takdir yang mungkin tlah tertulis jauh sebelum ku lahir. Jauh sebelum masa-masa indah itu mendahului kepedihan ini, jauh sebelum aku mengerti arti memiliki, arti hidup, dan semua yang berarti.
Aku….menyesal….
Ingatan kelam itu mulai mengusik hidupku kembali, bahkan tiap detik hidupku, adegannya tak pernah terlewatkan, masih teringat jelas menusuk dengan sadis hati yang telah tak berbentuk ini.
Langit masih memperlihatkan mendungnya, sesekali dresss selututku melambai-lambai diterpa angin dingin diminggu sore ini, hari yang terus mengingatkanku pada sejarah 5 tahun silam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar